Hari itu, seorang Tuan Guru menerima seorang tamu: tetangganya. Selepas berbagi sapa beberapa lama, tetangga yang telah berusia lanjut, sekitar 70 tahun, dan menganut agama lain itu berucap, “Tuan Guru. Selama beberapa hari ini Tuhan tidak memberikan rezeki apa-apa kepada saya. Bila berkenan, mohon kiranya Tuan Guru berkenan menyisihkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Tuhan kepada saya.”
“Boleh. Dengan satu syarat: Anda mau berpindah agama: mengikuti agama saya!”
Si tetangga pun menolak syarat yang demikian. Karena si tetangga menolak syarat itu, sang Tuan Guru pun mendiamkan tetangganya sampai ia berlalu. Ketika si tetangga berlalu, tiba-tiba dalam benak sang Tuan Guru mencuat ‘gugatan’ dari batinnya, “Apa yang membuat dirimu ini menolak menjamu tetangga yang sepuh itu? Apakah kau rugi dengan kekafirannya? Bukankah Allah Swt. telah mengaruniakan kepadanya makan dan minum selama 70 tahun, padahal ia tetap kafir kepada-Nya.”
Menyadari ‘gugatan hati’ yang demikian, sang Tuan Guru itu segera menyusul tetangganya itu. Sewaktu bertemu dan tahu sang Tuan Guru mengajaknya makan, si tetangga pun bertanya, “Tuan Guru. Tadi Anda menolak untuk memberikan makan kepada saya. Mengapa kini Anda malah menyusul saya dan mengajak saya makan?”
Sang Tuan Guru kemudian menuturkan ‘gugatan hati’ yang mencuat dalam benaknya. Mendengar jawaban demikian, si tetangga lama termenung dan tak kuasa berucap. Kemudian, beberapa lama kemudian ia berucap, “Tuan Guru. Benar Anda: selama 70 tahun aku telah diberi oleh-Nya makan dan minum. Tetapi, selama 70 tahun pula aku mengingkari-Nya. Kini aku sadar: aku akan mengikuti ajakan Anda. Dengan sepenuh hatiku!”
(Renungan di Awal 1441 H: semoga bermanfaat).
Filed under: Hikmah, Humor Sufi, Rindu Rasul, Tasawuf
YOUR COMMENTS